Wikipedia

Hasil penelusuran

Jumat, 06 November 2015

Promises Forgotten




Sebenarnya tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar. Hanya saja jika dia lebih berani untuk berterus terang dan mengesampingkan gengsinya dan juga seandainya Falen cepat sadar akan perilaku yang telah di tunjukkan kepadanya selama ini dan cepat mengajak baikan mungkin semuanya akan baik – baik saja.
Janji anak umur 5 tahun memang terlihat konyol dan sepele namun siapa sangka jika dia benar – benar memegang janjinya dan terus mencintainya hingga maut datang kepadanya tanpa sempat mengatakannya secara langsung bahwa dia mencintai Falen.
*    *   *
“Alvin tungguin gue!” teriakku sambil menatap punggung tegap lelaki yang ada di hadapanku. Ia berhenti lalu menoleh ke arahku. Tatapan sok cool nya itu selalu membuatku gemas. “Tadikan udah gue chat tungguin gue di depan perpus”
“Sori hp gue mati” katanya tanpa terlihat menyesal sama sekali. Aku lalu pura – pura memasang rautwajah kesal. “Yaudah sekarangkan udah ketemu, ayo pulang”
Kejadian seperti ini memang sering kali terjadi, kalau dia bukan sahabatku aku tidak akan sesabar ini menghadapi kelakuannya. Ia memang menyebalkan, sok ganteng – tapi memang ganteng sih – cuek dan sangat pelupa. Pernah sekali saat jalan – jalan ke mall dia pulang ke rumah tanpa memberitahuku yang membuatku pusingsetengah mati keliling mall mencarinya dan tidak menemukannya dimanapun! Mungkin kalian piker aku sudah gila, karena dari sekian banyak orang aku malah memilih orang seperti itu untuk jadi sahabatku. Tapi dia sebenarnya tidak seburuk itu, dia sosok yang diam – diam perhatian di balik semua sikap buruknya.
“Nggak usah ngelamun woy! Di sebelah lo udah ada pangeran ganteng, jadi gak usah mikirin pangeran yang ada di negri dongeng” katanya sambil berlalu setelah menoyor ringan kepalaku yang sontak membuatku kaget.
“Eh sakit kali, pangeran apaan? Pangeran kematian iya!  Seremmmm” Balasku sambil berlari kecil mengejarnya
“Woyyy pinjem PRnya dong” teriakku tanpa ada yang menoleh sama sekali. Semua orang sibuk menyontek dan mungkin mereka hanya mengganggap teriakanku sebagai angin lalu. Pandanganku tertuju kepada seseorang yang sedang membaca buku dengan headset di telinganya. Pikiranku sangat yakin kalau dia sudah mengerjakan PR kimia yang banyaknya minta ampun. Aku langsung berlari kearahnya dan duduk di sebelahnya sambil menggebrak meja. Dia menatapku kaget.
“Biasa aja bisa?”
“Sori deh, pinjem PR lo dong” Dia menatapku sekilas lalu melemparkan buku yang ada di hadapannya.
“Kok lo PD banget sih nggak ngerjain, banyak banget padahal”
“Males” Ucapku tak menghiraukan celotehannya yang tenggelam oleh bisingnya suasana kelas.
“Apaliat – liat?”
“Dih, siapa juga yang ngeliatin lo.”
Akhirnya istirahat pertama tiba. Aku menoleh kearah Alvin yang sedang menikmati sotonya. Tiba-tiba, pikiranku melayang ke masa kecil kami yang penuh warna. Aku ingat empat sekawan yang selalu bermain bersama, kemana-mana selalu bersama, dan pernah berjanji untuk selalu bersama.Janji yang hanya tinggal janji. Buktinya, sekarang hanya ada aku dan  Alvin disini, di kota ini.
“Hei! Sini! Kesini!” kata Falen kecil.
“Apaan?” tanya anak lelaki yang berbadan kurus dan tidak terlalu tinggi.
“Ini”
“Apa ini?”
“Ini buat kamu tapi janji yah jangan di buang, aku suka sama kamu. Kamu harus nyimpen ini. Janji kalo kita bakalan tetep bersama sampek gede”
“Iya, kalo gede aku bakalan nikahin kamu kaya papa sama mama. Punya rumah gede terus aku pake mobil yang ada di tv kemaren”
“Kok cuman dia yang dikasih kita enggak?” Kata 2 anak lainnya
“Enggaklah, aku kan nggak mau nikah sama kalian aku cuman mau nikah sama dia kalo udah gede”
“yahhh kok gitu, Falen jelek!” Ejek mereka yang dilanjutkan aksi saling kejar.
“Falen! Ngapain sih ngelamun mulu dari kemaren” Kata Alvin yang membuatku kembali ke dunia nyata.
“Apasih lo ngagetin gue aja! Suka – suka gue kali” Kali ini aku memang benar – benar kaget
“Gila untung aja tadi gue nggak kesiangan datengnya jadi gue sempet nyalin PRnya si Steve. Duhh bisa bayangin kan lo kalo gue kesiangan tadi”
“Lagian lo bego sih, udah tau Gurunya galak ngapain juga nggak ngerjain”
“Males banget man, kimia gitu ya bukan level gue banget lah. Matematika aja kaga bisa apalagi Kimia?”
“Yaudah sih, buru makan tuh sotonya entar dingin” Great! Alvin memang pintar sekali mengalihkan pembicaraan. Baguslah aku jadi bisa tenang sekarang memakan soto buatan Mang Toha – langgananku. Syukurlah tadi aku tidak ketahuan menyalin garapan Steve karena tulisanku benar – benar acak – acakan saking gugupnya.
Aku memang selalu menghabiskan waktu istirahat bersama Alvin bukan berarti aku tidak punya teman selain dia, temanku banyak hanya saja aku kasihan jika harus meninggalkan Alvin, kan kasihan kalau Alvin sendirian—Hahaha. Waktu istirahat biasannya kita—Aku dan Alvin habiskan dengan nongkrong di warung sotonya Mang Toha, ngobrol di taman samping sekolah atau sekedar santai di lantai atas gedung sekolah. Itu adalah tempat favorit kami. Keseharianku tidak pernah jauh dari sosok Alvin, kita selalu bersama sepanjang waktu—kecuali mandi tidur dan hal pribadi lainnya. Rumah kami hanya beda blok, jalan kakipun dekat, jadi kalian bisa membayangkan bagaimana lengketnya kita berdua.
“Eh gue tadi sempet merhatiin Steve gitu” Aku memulai pembicaraan setelah menghabiskan sotoku.
“Terus?”
“Kalo di perhatiin, dia cakep. Nggak. Dia cakep banget!”
“…” Ini kebiasaan Alvin jika diajak bicara tentang lelaki lain. Diam. Aku sudah “sangat” terbiasa dengan sifatnya yang satu ini.
“Kok lo diem gitu sih jawab apa kek” Lanjut ku.
“Oh” Oh—yah setidaknya dia sudah mulai perduli dengan pembicaraan ini.
“Cuman oh? Eh tapi juga dia baik anaknya. Gue deketin aja kali ya?” Aku kembali bersemangat untuk membicarakan Steve lebih jauh—
“Terserah lo” Tapi ternyata aku salah, justru Dia tidak berminat sama sekali untuk meladeniku membicarakan Steve—calon gebetanku selanjutnya yang menurut Alvin mungkin sangat tidak mutu untuk di bicarakan.
Jam terakhir, Sejarah Dunia. Pak Tris masuk 5 menit setelah bel pergantian jam pelajaran tapi kami maklum karena sekolah kami memang luas apalagi kelasku ada di lantai 2 jadi 5 menit sudah termasuk cepat jika di sekolah kami. Pak Tris menjelaskan tentang Revolusi Industri di Inggris dan sedikit mengenai Revolusi Prancis setelah itu kita di beri tugas oleh Beliau. Tugas kelompok lebih tepatnya. Aku satu kelompok dengan Steve, Rega, Sara, Tania dan Dio untuk mencari lebih dalam materi mengenai Revolusi Perancis.
Teng teng teng
“Selesaikan tugas kalian dengan baik dan jangan lupa akhir minggu ini pekerjaan kalian sudah harus ada di meja saya. Selamat siang”
“Kita ngerjain langsung aja gimana? Dari pada besok – besok keburu males ngerjainnya” Sara menghampiri Aku dan Steve yang di ikuti oleh Rega, Tania dan Dio.
“Kalo gue sih oke aja” Sahut Dio.
“Yaudah di rumah gue aja yang deket” Steve menawarkan rumahnya dan kita semua setuju.
Gue kerja kelompok di rumah Steve lo langsung cabut aja” Aku mengirim pesan kepada Alvin agar dia tidak menungguku.
Hanya perlu 7 menit untuk sampai di rumah Steve. Rumahnya bagus dan sangat rapi. Kita mengerjakan di ruang tengah karena memang hanya ruang itu yang paling luas dan dekat dengan Wi-Fi. Tidak sampai 1 jam pekerjaan kami sudah selesai, mumpung lagi ada di rumah Steve aku ingin melihat – lihat isi rumah ini.
“Steve kamar mandinya dimana gue kebelet nih” Tanyaku berpura – pura.
“Ke belakang aja pasti lo langsung nemu pintunya biru”
“Oke” Semua anak sedang merapikan buku Sejarah Dunia yang tadi tercecer di lantai dan memasukkannya kembali ke tas masing – masing. Aku melihat sekeliling rumah dengan interior yang elegan dan sangat rapi ini beda sekali dengan rumahku dan Alvin pikirku seketika. Rumahku dan Alvin luas dengan gaya modern yang sangat kental di setiap sudut ruangan. Orang tua Steve pasti mengerti tentang seni aku yakin itu. Aku melewati lemari kaca, di dinding sebelahnya tergantung lebih dari 10 foto. Salah satu diantaranya yang membuatku tertarik adalah foto 4 anak kecil yang sedang bermain pasir di pantai—lucu sekali. Aku mengamatinya lalu tersadar bahwa aku sepertinya tidak asing dengan wajah kecil itu. Tapi aku tidak begitu yakin. Aku lalu bergegas ke kamar mandi dan mencuci tangan karena aku memang tidak kebelet. Aku lalu menaruh dompetku di sebelah washtofel lalu bergegas keluar dan menghampiri Rega, Sara, Tania dan Dio yang sepertinya sudah siap pergi menuju rumahnya masing – masing. Sedangkan Steve terlihat sedang menutup laptopnya dan menghampiri kita ber lima.
Aku bergegas pulang tidak sabar ingin bertemu dengan Alvin. Sesampainya di rumah aku mandi berpakaian lalu berpamitan untuk pergi ke rumah Alvin.
Alvin ternyata sedang main game di kamarnya tapi aku tidak perduli, aku langsung menarik tubuhnya agar menghadapku. Dia kaget dan langsung membuka mulutnya
“Gila lo gue kaget. Ada apaan sih sampek segitunya?”
“Maaf Al tapi gue mau ngomong penting” Aku lalu memberi tahu Alvin tentang foto anak kecil yang ku lihat di rumah Steve tadi siang, Alvin memasang wajah tidak percaya tapi aku berhasil membujuknya untuk memastikannya sendiri.
Kita bergegas memasuki mobil Pajero Alvin yang ada di garasi lalu melesat ke jalanan menuju rumah Steve. Belum ada setengan jalan hujan turun lumayan deras lalu Alvin mempercepat laju mobilnya bahkan hujan jatuh semakin deras saat kita sampai di rumah Steve. Aku dan Alvin berlari keluar mobil dan membunyikan bel, beberapa saat kemuadian Steve muncul.
“Falen? Ada apa huj—ayo masuk” Aku dan Alvin lalu masuk ke rumah Steve yang hangat bertolak belakang dengan udara di luar barusan yang sangat dingin.
“Duduk. Well ada apa kalian ke sini?” Steve memandang wajahku
“Gue minta anter Alvin ke sini niatnya sih mau ngambil dompet eh tau – tau di jalan ujan”
“Dompet lo ketinggalan dimana? Biar gue yang ambilin” Steve bertanya serius kepadaku
“Di kamar mandi deh kayaknya” Steve lalu pergi ke belakang untuk mengambil dompet yang tadi sengaja ku tinggalkan di sana. Aku lalu bergegas menarik lengan Alvin dan menunjukkan foto itu.
“Tuh liat perhatiin baik – baik” Alvin lalu mencermati wajah 4 anak di foto itu dan aku melihatnya mendelik
“Yang ini sama ini gue sama lo kan Fa?” Alvin menunjuk 2 anak kecil yang bersebelahan dan memastikan bahwa itu wajah kita berdua. Aku lalu mengangguk cepat karena aku yakin sekali bahwa itu memanglah wajahku dan Alvin.
“Kalian lagi ngapain” Suara Steve yang pelan bahkan terasa begitu nyaring di telingaku. Aku kaget dan diam di tempat sedangkan Alvin hanya menoleh dan memandang foto itu kembali.
“Ini siapa?” Tanya Alvin dengan nada yang aku yakin dibuatnya setenang mungkin. Steve menghampiri kami lalu melihat foto itu.
“Nih dompet lo, lain kali jangan teledor dompet itu penting banget jangan sampek ilang.” Aku mengambilnya seraya tersenyum. Duh udah ganteng, baik, pinter, perhatian lagi. Siapa coba yang nggak naksir kalo ketemu dia?
“Itu foto gue waktu kecil. Sama temen – temen kecil gue, kata Bokap sih gitu”
“Lo masih inget mereka?” Sahut Alvin sedangkan aku masih diam tak berkata apa – apa.
“Nggak sih soalnya itu udah berapa taun ya gue lupa jaman dulu bangetlah pokoknya”
“Steve lo harus tau dia sama dia itu gue sama Falen” Ujar Alvin yang menunjuk 2 anak kecil itu lagi.
“Hah bercanda kan lo?” Steve tampak tidak percaya sama seperti aku dan Alvin tapi itu memang faktanya!
“Serius.”
Setelah beberapa saat berdebat akhirnya Steve percaya. Alvin menjelaskan tentang insiden dompet dan alasan sebenarnya kita kesini. Lalu kita ngobrol bertiga karena di luar masih hujan, kita memesan Pizza Hut karena di rumah Steve tidak ada orang, orang tuanya sedang ke luar kota jadi kami memesan pizza. Beberapa saat kemudian di ketahui bahwa perempuan di samping Steve itu bernama Angel, Steve bilang dia sekolah di Boston ikut orang tuanya.
Ahhh aku benar – benar belum terbiasa dengan situasi ini, tapi kita tidak boleh melupakan masa lalu bukan? Tanpa ada masa lalu tidak aka nada masa kini jadi kita tidak boleh melupakannya.
“Gue pengen ketemu Angel deh. Lucu yah kita udah gede bahkan kita ga tau kalo dulu kita maen bareng gitu.” Aku benar – benar ingin mengingat bagaimana masa kecilku.
“Iya pengen deh kumpul – kumpul lagi, nostalgia gitu.” Ujar Alvin
“Hmm Angel sekarang cantik banget kalo penasaran gue tau Instagramnya. Bentar gue cariin” Balas Steve sembari mencari akun Instagram Angel lewat smartphonenya.
“Nih Angel sekarang” Steve memberikan handphonenya kepada ku langsung saja Alvin menjejeri ku karena Alvin pasti sama penasarannya bagaimana teman masa kecil kami yang sudah lama tidak kami jumpai.
“Gila bule? Cantik banget Steve gue gaet bisa tuh” Kata Alvin bercanda.
“Sori Al Angel udah punya cowo bule juga lo ga ada apa – apanya di banding Justin. Scrool down aja ada fotonya sama Justin. Kasian lo kalah sebelum perang hahaha” Steve menggodanya dengan penuh semangat.
“Gitu ya? Yaudah deh gue sama Falen aja udah cukup kok. Lagian di liat – liat lo ga jelek – jelek amat kok Fa” Alvin memasang muka sedih dan kecewa lalu menoleh ke arahku sambil menunjukkan raut wajah  menilai. Sialan. Lagian siapa juga yang mau sama dia HAH!
“Dih siapa juga yang mau sama lo. Ogah. Ehh gue agak inget sesuatu deh tapi samar – samar gitu. Dulu gue udah pernah ngasih sesuatu ke salah satu di antara kalian berdua kan? Tentang janji gitu tapi gue nggak inget janji apa. Ada di siapa barangnya?” Mereka berdua hanya saling berpandangan lalu menaikkan bahunya bersamaan. Lagian udah ga penting sih lagian itu udah berapa taun yang lalu? 12 taun lalu? Entahlah aku sudah tidak peduli dengan bayangan yang samar tentang janji bodohku. Hahaha masa kecil kami memang lucu.
“Siap?”
“Siap.”
Setelah kejadian foto di rumah Steve, aku dan Steve tambah dekat. Kami sering menghabiskan waktu bersama. Aku selalu duduk di sebelahnya, ke kantin dan jalan dengannya. Aku sangat beruntung bisa dekat dengan lelaki yang ku suka. Selama sebulan ini aku sering jalan bersama Steve, malam ini rencananya kita mau makan malam sambil keliling Jakarta menikmati pemandangan malam yang indah di kota yang sangat padat penduduk ini. Steve bagiku seperti pangeran berkuda besi. Aku sering di bawa ke tempat – tempat yang belum pernah aku datangi menggunakan motor, so sweet sekali. Well Steve lebih suka menggunakan motor ninjanya dari pada mobil katanya menghemat waktu dari pada harus terjebak macet dan aku setuju dengannya.
“Kamu cantik banget hari ini.” Steve memulai pujian mautnya. Aku sudah hafal karena setiap jalan dia selalu melontarkan kata – kata yang pastinya akan membuat hati wanita menjerit saking senangnya. Pujian. Bukan bualan.
“Jadi biasanya aku jelek?”
“Nggak gitu maksudnya hari ini.. kamu.. Istimewa” Aku mulai tidak tahan dengan pembicaraan ini. Aku harus mengalihkan pembicaraan. Harus.
“Yayaya makasih deh. Tapi mendingan udahan, stop gombalan – gombalan itu. Ayo dimakan keburu dingin”
“Are you ok?” sahut Steve dengan tatapan bertanya yang jelas di buat – buat.
“Aye” kataku. Aku bahkan bingung kenapa Steve tiba – tiba bertanya seperti itu.
“Tapi kita lagi makan Ice Cream. Sejak kapan Ice Cream anget Falen?”
“Ouhhh haha lupa” aku sangat malu. Tadinya aku ingin mengalihkan Steve agar tidak terus – menerus memujiku tapi.. tapiii—
Setelah jalan sama Steve, Alvin datang ke rumahku. Entahlah tumben sekali dia, padahal selama sebulan ini dia jarang menemuiku. Ohhh aku merindukannya. Sangat.
“Lancar sama Steve?” Tanya Alvin datar
“Ya gitu deh” jawabku ringan
“Gimana? Seneng yah dapet cowo baru?”
“Iyalah, lo kapan nyusul gue. Cari cewe sana jangan main game mulu di rumah” Jawabku lagi tanpa menoleh ke arahnya.
Alvin lalu menjejeriku, duduk di pinggir ranjang dan mendekatiku yang sedang sibuk membalas chatting dari Steve. “Cieeee yang disini di cuekin yang di sana di perhatiin” Ujarnya lagi
“Ih apaan sih lo Al. Kepo banget ngintip – ngintip segala.”
“Kenapa? Nggak boleh? Ohhhh jadi sekarang gitu, sahabat lo sendiri nggak dianggep sekarang?” WOW kata – katanya barusan membuatku kaget
“Apa sih enggak lagi biasa aja kok”
“Fa semenjak lo deket sama Steve tuh kita jarang ketemu, lo nyuekin gue. Apa gue udah nggak penting sekarang?” Suaranya melembut
“Cemburu nih ceritanya? Minta di perhatiin sama gue? Ya ampun Alvin makanya cari cewe duhhh” Aku asal bicara. Males banget nanggepin Alvin yang udah mulai ngomongin hal nggak mutu kaya gini.
“Falen gue serius. Lo berubah sekarang” Nadanya semakin melemah
“Al gue nggak berubah, cuman kita jarang ketemu aja. Emang masalah banget yah?”
“Iya” Mendengar jawabannya aku langsung duduk tegak menatapnya
“Lo kenapa sih tiba – tiba sensi banget. Kita cuman jarang ketemu, udah itu doang. Nggak ada yang berubah di antara kita”
“Itu anggepan lo. Di mata gue lo udah beda! Lo nggak pernah peduli lagi sama gue!”
“Kok lo sewot sih! Biasa aja dong ngomongnya!”
“Benerkan? Gue emang udah nggak penting buat lo. Segalanya serba Steve. Kemana – mana sama Steve. Jalan, makan, belanja, sekolah sama Steve. Gue di taruh mana hah? Bahkan lo aja nggak pernah inget gue kan?”
“Nggak gitu. Iya emang sekarang gue deket sama Steve, tapi bukan berarti gue ngebuang lo gitu aja! Lo sahabat gue, masa lo cemburu sih sama Steve yang bener aja!” Aku benar – benar kesal sekarang! Dia nggak tau kalau aku sangat merindukannya. Aku senang dia datang, tapi kenapa dia malah marah – marah seperti ini?
 “Kita udah beda. Lo. Gue. Kita udah nggak sejalan lagi. Sahabat? HAH!” Alvin membentakku lalu pergi begitu saja meninggalkan kamar sambil membanting pintu. Tunggu.. tapi kenapa barusan dia membentakku dan menekankan kata sahabat seolah itu adalah hal yang tidak wajar? Bukankah kita memang bersahabat? Atau Alvin sudah tidak mau bersahabat lagi dengan ku? Tuhan tolong bantu aku agar aku tau apa yang sebenarnya Alvin pikirkan.
Aku mengejarnya, tapi dia sudah jauh. Ada apa sebenarnya? Kenapa Alvin marah kepadaku hanya karena kita jarang bertemu?
“Kenapa sayang? Barusan kayanya mama denger kamu jerit – jerit?” Tanya mama dari depan tv
“Nggak papa ma, barusan Alvin ngambek tau tuh kenapa”
“Yaudah kerumahnya aja” Saran mama bener – bener buruk.
“Nggak ah ma, palingan juga besok udah baekan kok” Jawabku meninggalkan Mama menuju kamarku lagi.
Besoknya Aku tidak bertemu dengan Alvin. Aku bahkan tidak tau dia masuk sekolah atau tidak. Jadi serius nih dia ngambek? Hah! Kaya bocah aja, ngambekin hal sepele kaya gini!
Hari – hari selanjutnya pun sama. Alvin tidak menemuiku. saat kita berpapasan dia pura – pura tidak melihat atau jika mata kami bertemu dia langsung memalingkan wajahnya.
Pernah sekali saat aku sedang jalan bersama Steve menuju parkiran Alvin menyapaku “Hi Falen sahabatku” dengan nada menyindir. Sebenarnya apa salahku? Apa salah aku jalan berdua dengan lelaki yang ku sukai? Kenapa sikapnya jadi seperti itu sekarang? Apa dia cemburu? Tunggu.. cemburu. Tidak mungkin! Hahaha mungkin pikiranku terlalu lelah menghadapi sikap dingin Alvin akhir – akhir ini. Kita bersahabat sejak kecil mana mungkin dia menyukai ku. Benar. Otakku memang sudah lelah.
Hari ini sikap Alvin belum berubah, masih sama seperti hari – hari kemarin.
“Kamu lagi marahan ya sama Alvin?” Tanya Steve saat kami sedang makan di kantin.
“Tau tuh si Alvin diemin aku. Udah ada seminggu sikapnya aneh.”
“Emang kamu ada masalah apa?”
“Nggak tau, masa cuman gara – gara aku jarang ketemu dia katanya aku ngebuang dia. Kaya anak kecil banget kan”
Saat itu juga Alvin lewat tepat di depanku! Dia memberikan tatapan yang tak bisa ku artikan. OMG! Aku langsung mengejarnya. Alvin aku—
“Alvin! Tunggu!” Aku menarik tangannya dan menatapnya. Dia hanya diam tampa memandang wajahku.
“Lo kenapa ”
“Lo masih tanya kenapa?” Alvin balik bertanya kepadaku dengan wajah kesal.
“Gue nggak tau kenapa Lo kaya gini. Oke kalo Gue punya salah sama Lo Gue minta maaf, tapi tolong jelasin apa salah Gue”
“Lo tuh nggak peka ya” Hanya itu yang Alvin katakan lalu menghentakkan tangannya dan berlalu pergi. Ku lihat dari kejauhan Steve memperhatikan, ah masa bodoh! Aku hanya ingin menenangkan diri sekarang.
Taman samping sekolah ramai hari ini, banyak anak yang menjalani aktifitasnya di sini. Ada yang bermain gitar, makan bekal, membaca buku, dan biasanya aku duduk di sini bersama Alvin. Sebenarnya memang aku yang berubah atau pikiran Alvin yang sedang kacau? Dari kejauhan ku lihat Steve mendekat ke arah ku.
“Hey ngapain di sini sendirian? Kok keliatan sedih gitu, mikirin Alvin ya?” Suaranya yang lembut membuat hatiku tenang.
“Hmm” Aku hanya menggumam sambil menikmati keheningan di otakku. Aku rasa hari ini cukup, aku tidak ingin membuat otak ku lelah.
Hujan saat malam hari itu tidaklah menyenangkan! Aku memandang ke luar jendela, gelap, basah, dingin. Aku tidak suka suasana seperti ini. Tiba – tiba aku teringat Alvin. Sahabatku. Aku tidak bisa marahan seperti ini terus dengannya. Aku tidak tahan. Aku memberanikan diri untuk menelfonnya. Tersambung! Namun beberapa saat kemudia dia mematikan telfonnya.
Aku sedang menunggu taksi di depan sekolah ketika mobil Alvin lewat lalu berhenti di hadapanku.
“Masuk” Aku lalu memasuki mobilnya tanpa berkata apa – apa. Alvin langsung melajukan mobilnya dan membawaku ke Café langganan kami. Aku hanya diam mengikutinya tanpa bertanya sekalipun.
“Bisa nggak sih jangan diem terus. Keki tau nggak” Aku memulai pembicaraan karena sudah sangat bosan dengan keheningan yang terjadi.
“Nah itu lo tau kalo di diemin itu keki!”
“Maksud lo apa?”
“Sekarang gue tanya langsung ke intinya. Bagi lo gue itu apa?” Alvin mendadak serius
“Ngapain tanya. Lo sahabat gue”
“Sahabat? Cuma sahabat?” Nadanya meninggi
“Terus lo pikir hubungan kita ini apa?” Balasku dengan nada sama tingginya
“Gue nggak mau jadi sahabat lo Falen!” Alvin membentakku. Café sedang sepi karena sekolah lain belum bubar. Aku sangat bersyukur, andai saja Café ini di penuhi manusia mau di taruh mana mukaku?
“Maksud lo apaan sih. Gue nggak ngerti. Lo nggak inget apa dulu kita janji bakal bareng terus selamanya. Lo udah janji, dan sekarang lo ngomong lo nggak mau jadi sahabat gue? Yang bener aja!”
“Oh ya? Cuma janji itu doang yang lo inget? Jujur, gue kecewa”
“Maksud lo apa? Emang janji apalagi?”
Udahlah, lagian lo udah punya Steve. Kok gue jadi naif gini ya? Percaya sama omongan cewe umur lima tahun. Bodoh.” Kata Alvin sambil tertawa nyaring, tawa yang jelas dibuat – buat.
“Alvin, gue bener – bener nggak ngerti apa yang lagi lo omongin” Kali ini aku sudah stuck.
Alvin tersenyum singkat, berdiri, lalu pergi meninggalkan ku sendirian. Tidak berfikir terlalu lama aku lalu menyusulnya ke luar setelah membayar pesanan kami yang bahkan belum sempat kami santap. Aku memanggil Alvin tapi ia malah berbalik untuk menyeberangi jalan. Dan tiba-tiba aku melihatnya. Mobil itu. Kejadian selanjutnya terjadi begitu cepat. Aku bisa mendengar teriakan yang ternyata berasal dari mulutku sendiri. Refleks, aku berlari kearah Alvin yang sudah tergeletak dengan darah yang mengucur deras dari kepalanya.
“ALVINNNNNN…” Orang – orang yang ada di sekitar tempat ini langsung berlari mendekat. Begitu sampai di hadapan Alvin tubuhku lemas, aku terduduk di sebelahnya sambil menangis sejadi – jadinya. Sahabatku tertabrak mobil dan aku menyaksikannya sendiri. Aku sangat kaget, panik, dan tidak tau harus berbuat apa. Tak lama kemudian suara Ambulance memenuhi seluruh indra pendengaranku.
Alvin terbaring keritis Dokter bilang dia kehilangan banyak darah. Aku menemaninya dan terus berdoa agar dia cepat sadar. Aku telah menghubungi keluarganya, dan mereka sedang dalam perjalanan kemari karena mereka sedang ada di luar kota. 2 jam setelah kejadian Alvin sadar dan langsung mengenaliku.
“Alvin” Panggilku lirih
“Apa”
“Gue kangen sama lo”
“Gue juga”
“Maafin gue ya?”
“Gue nggak marah sama lo Falen”
“Terus kenapa lo nyuekin gue?”
“Karena lo nggak peka. Gue sendirian, sejak Steve muncul di kehidupan lo, lo nggak pernah kontak gue. Temen gue cuman lo. Gue kesepian”
“Maafin gue ya. Iya gue salah, nggak seharusnya gue ninggalin lo sendirian cuman gara – gara gue deket sama Steve. Gue janji nggak bakalan bikin lo kesepian lagi”
“Gue sayang sama lo Falen”
“Gue sayang banget sama lo Al Lo harus kuat. Cepet sembuh. Sakit banget rasanya ngeliat lo terbaring lemah kaya gini”
“Tenang, Pangeran lo ini bakalan cepet sembuh kok. Lagian cuman kecelakaan biasa. Gausah kawatir gitu” Kecelakaan biasa? Dia bahkan tidak tau seberapa parahnya dia. Tak lama kemudian dia menutup matanya lagi. Aku membiarkannya istirahat tanpa meninggalkannya sedetik pun.
Sudah 1 jam dan orang tua Alvin bahkan belum sampai. Aku membelai wajahnya berharap dia cepat kembali pulih dan tiba – tiba monitor di samping ranjang berbunyi keras sekali. Aku panik. Aku langsung memanggil tim medis lalu beberapa Dokter beserta suster datang ke ruangan. Mereka langsung melihat keadaan Alvin dan seorang Dokter mengisyaratkan untuk membawa Alvin ke ruang operasi. Aku juga ikut lari mengikuti Alvin.
Dari kejauhan aku melihat orang tua Alvin namun tepat setelah itu salah satu suster berkata dengan bahasa medis yang tidak ku ketahui. Mereka berhenti dengan nafas yang terengah – engah dan menampilkan raut kecewa. Aku mendekatinya dan bertanya kenapa mereka berhenti. Mereka tidak menjawab namun aku mengerti. Aku langsung memeluknya dan menangis sekeras yang ku bisa. Alvin, sahabat kesayanganku pergi meninggalkanku. Orang tua Alvin sampai dan langsung mengerti. Tante Rara menjerit sedangkan Om Dani meneteskan air mata dalam diam. Tim medis lalu membawanya, ternyata Alvin meninggal karena kehabisan darah. Tapi bukankah ada darah cadangan di rumah sakit? Kenapa mereka tidak memberikannya kepada Alvin dan kenapa juga orang tua Alvin terlambat datang sehingga Alvin tidak kuat lagi. Aku kecewa, kesal, marah, sedih, semuanya bercampul menjadi satu. Yang jelas AKU TIDAK RELA!
Sore ini juga Alvin di makamkan. Aku tidak ingin datang ke pemakamannya namun jika aku tidak datang aku tidak akan melihat mayat Alvin untuk terakhir kali. Mama dan Papa membujukku untuk datang bersama mereka. Orang tuaku pun menangis mendengar kabar kematian Alvin. Mereka juga memikirkan bagaimana nantinya kehidupanku tanpa Alvin. Dia satu – satunya sahabatku. Oh Tuhan kenapa engkau merenggut nyawanya di masa mudanya? Aku tidak kuat jika harus terus menerus mengingatnya. Sakit. Sakit sekali di dalam sini.
Pemakaman ramai sekali, teman – teman kami datang begitu pula Steve. Mereka mengucapkan turut berduka cita kepada orang tua Alvin dan juga kepadaku. Aku hanya diam, aku bahkan tidak bisa bicara, yang ku lakukan hanya menangis memandang mayat Alvin di kebumikan. Setelah selesai aku langsung pulang, aku tidak mau berlama – lama di sini.
Besoknya aku datang ke rumah Alvin. Para tamu masih terus berdatangan untuk mengucapkan bela sungkawa. Aku ke kamarnya. Rapi. Aku lalu membaringkan tubuhku di ranjangnya, biasanya Alvin yang tidur di sini namun sekarang tidak ada lagi yang akan menempatinya. Aku lalu berkeliling kamar melihat barang – barangnya. Masih sama, tiba – tiba aku tertarik dengan laci paling bawah lemari Alvin. Alvin tidak pernah membolehkanku membukanya karena dia bilang dia membutuhkan privasi, jadi aku tidak pernah mencoba apa lagi memaksa untuk melihatnya. Namun sekarang berbeda, aku sangat ingin melihatnya. Dikunci. Aku membuka laci yang ada di atasnya dan meliat ada sebuah kunci, dasar ceroboh. Aku membukanya, tidak banyak isinya hanya kertas, kotak kayu, boneka dan gelas.
Kertas A3 dengan lukisan aku dan Alvin saling berpelukan, boneka beruang yang ku berikan saat ulang tahunnya yang ke 10 jika tidak salah, gelas bertuliskan Alvin Falen Forever ohhh aku kembali meneteskan butiran bening dari mataku. Melihat gelas ini aku jadi teringat janji kami untuk selalu bersama sampai kami tua tapi nyatanya dia meninggalkanku lebih dulu, di usianya yang belum genap 18 tahun. Dengan lemas aku meraih kotak kayu, barang terakhir yang menjadi privasi Alvin. Di dalam kotak kayu ada kalung kayu dan sebuah surat. Kalung kayu dengan ukiran Falen. Aku yakin dia sangat menghargai persahabatan kami sampai dia menyimpan barang seperti ini. Aku lalu membuka surat itu. Aku terduduk lemas membaca isinya dan kembali menangis.
Dear Falen
Kalo lo nerima surat ini, berarti kita udah nikah, atau gue yang udah nyerah karena nggak bisa dapetin lo atau mungkin aja gue udah meninggal duluan sebelum lo. Di kotak ini, ada kalung yang lo kasih ke gue waktu kita masih kecil. Kalung tanda cinta lo, katanya. Lo masih inget, kan? Kalung itu juga bukti janji kita yang mungkin udah lo lupain. Lo janji kalo kita bakalan tetep bersama sampek gede, terus nikah. Gue bahkan waktu kecil janji sama lo setelah nikah gue mau beli mobil, tapi well—sekarang gue udah beli duluan sebelum kita nikah. Sebenernya, gue harap lo nggak bakal lupa sama janji itu. Tapi, gue ngerti lo udah lupa. Gue nggak mau ngebahas hal yang udah lo lupain jadi gue diem. Tapi gue diem bukan berarti gue udah nggak perduli dengan janji yang lo ucapin sendiri. Janji anak umur 5 tahun—hahaha.
Sikap diem gue yang nggak pernah nunjukin kalo gue suka sama lo udah nggak tertahankan lagi waktu gue liat lo sama Steve, lo keliatan bahagia banget waktu bareng Steve, gue cemburu. Lo belum pernah keliatan sebahagia itu waktu jalan sama gebetan lo yang laen, itu yang bikin gue kesel. Jadi, gue nulis surat ini.
Well, kalo lo nikah sama orang lain, mungkin setelah ngasih kalung itu gue nggak akan berani lagi muncul di kehidupan lo. Sebenernya, bukannya nggak berani sih, tapi mungkin nggak sanggup liat lo bahagia sama orang lain. Tapi, kalo kita berdua yang nikah, gue nggak tau mau naruh muka gue dimana kalo lo udah nerima kalung itu sama baca surat lebay gue ini. Lo tau kenapa? Karena selama ini gue udah berusaha nunjukin sikap cuek ke elo, dan sekarang, saat lo baca surat ini, mungkin lo bakal ngecap gue cowok lebay, tapi gue nggak perduli. Sedangkan kalo gue udah mati, gue cuma mau minta maaf kalau mungkin selama ini gue udah nyakitin perasaan lo. Gue juga minta maaf kalo sikap gue selama ini udah bikin lo bingung, kesel atau apapun itu yang lo para cewek suka bilang. Gue cuma mau lo tahu, gue bersikap gitu karena gue pengen jadi sempurna dimata lo. Soalnya, gue pernah denger lo ngobrol sama temen kelas lo kalo lo suka cowo yang ganteng, cuek, misterius jadi gue pura – pura sok cuek misterius gitu. Tapi bahkan lo cuma nganggep gue sahabat dan nggak pernah mempermasalahin sikap cuek gue. Padahal niatnya biar lo ngeliat gue sebagai cowo, bukan sahabat.
Yah, itu ajasih yang pengen gue omongin ke elo. Makasih buat semua yang udah lo kasih ke gue selama gue hidup. Gue bahagia banget, Falen. Percaya sama gue, gue nggak akan lupain semua itu. Nggak akan pernah, terutama masa kecil kita. I LOVE YOU FALEN
With love,
Alvin
Aku sangat menyesal kenapa aku tidak pernah peka dengan perasaannya. Kenapa jika dia memberiku kode aku hanya menganggapnya sebagai lelucon? Dan kini aku hanya bisa menangis meratapi kepergiannya. Kepergian orang yang sangat mencintaiku. Orang sangat spesial. Alvin Faustines.


TAMAT

1 komentar:

  1. The merit casino - deccasino.com
    Discover 1xbet korean all about the Merit Casino - a 인카지노 Malta licensed 메리트카지노 online gambling site. Merit Casino Review and Rating - Merit Online Casino.

    BalasHapus