Sebenarnya tidak ada
yang salah dan tidak ada yang benar. Hanya saja jika dia lebih berani untuk
berterus terang dan mengesampingkan gengsinya dan juga seandainya Falen cepat
sadar akan perilaku yang telah di tunjukkan kepadanya selama ini dan cepat
mengajak baikan mungkin semuanya akan baik – baik saja.
Janji anak umur 5 tahun
memang terlihat konyol dan sepele namun siapa sangka jika dia benar – benar
memegang janjinya dan terus mencintainya hingga maut datang kepadanya tanpa
sempat mengatakannya secara langsung bahwa dia mencintai Falen.
* * *
“Alvin tungguin gue!”
teriakku sambil menatap punggung tegap lelaki yang ada di hadapanku. Ia berhenti
lalu menoleh ke arahku. Tatapan sok cool nya
itu selalu membuatku gemas. “Tadikan udah gue chat tungguin gue di depan perpus”
“Sori hp gue mati”
katanya tanpa terlihat menyesal sama sekali. Aku lalu pura – pura memasang rautwajah
kesal. “Yaudah sekarangkan udah ketemu, ayo pulang”
Kejadian seperti ini memang
sering kali terjadi, kalau dia bukan sahabatku aku tidak akan sesabar ini menghadapi
kelakuannya. Ia memang menyebalkan, sok ganteng – tapi memang ganteng sih –
cuek dan sangat pelupa. Pernah sekali saat jalan – jalan ke mall dia pulang ke rumah
tanpa memberitahuku yang membuatku pusingsetengah mati keliling mall mencarinya
dan tidak menemukannya dimanapun! Mungkin kalian piker aku sudah gila, karena dari
sekian banyak orang aku malah memilih orang seperti itu untuk jadi sahabatku. Tapi
dia sebenarnya tidak seburuk itu, dia sosok yang diam – diam perhatian di balik
semua sikap buruknya.
“Nggak usah ngelamun woy!
Di sebelah lo udah ada pangeran ganteng, jadi gak usah mikirin pangeran yang
ada di negri dongeng” katanya sambil berlalu setelah menoyor ringan kepalaku
yang sontak membuatku kaget.
“Eh
sakit kali, pangeran apaan? Pangeran kematian iya! Seremmmm” Balasku sambil berlari kecil
mengejarnya
“Woyyy
pinjem PRnya dong” teriakku tanpa ada yang menoleh sama sekali. Semua orang
sibuk menyontek dan mungkin mereka hanya mengganggap teriakanku sebagai angin lalu.
Pandanganku tertuju kepada seseorang yang sedang membaca buku dengan headset di
telinganya. Pikiranku sangat yakin kalau dia sudah mengerjakan PR kimia yang
banyaknya minta ampun. Aku langsung berlari kearahnya dan duduk di sebelahnya sambil
menggebrak meja. Dia menatapku kaget.
“Biasa
aja bisa?”
“Sori
deh, pinjem PR lo dong” Dia menatapku sekilas lalu melemparkan buku yang ada di
hadapannya.
“Kok
lo PD banget sih nggak ngerjain, banyak banget padahal”
“Males”
Ucapku tak menghiraukan celotehannya yang tenggelam oleh bisingnya suasana kelas.
“Apaliat
– liat?”
“Dih,
siapa juga yang ngeliatin lo.”
Akhirnya
istirahat pertama tiba. Aku menoleh kearah Alvin yang sedang menikmati sotonya.
Tiba-tiba, pikiranku melayang ke masa kecil kami yang penuh warna. Aku ingat empat
sekawan yang selalu bermain bersama, kemana-mana selalu bersama, dan pernah berjanji
untuk selalu bersama.Janji yang hanya tinggal janji. Buktinya, sekarang hanya ada
aku dan Alvin disini, di kota ini.
“Hei!
Sini! Kesini!” kata Falen kecil.
“Apaan?”
tanya anak lelaki yang berbadan kurus dan tidak terlalu tinggi.
“Apa
ini?”
“Ini
buat kamu tapi janji yah jangan di buang, aku suka sama kamu. Kamu harus nyimpen
ini. Janji kalo kita bakalan tetep bersama sampek gede”
“Iya,
kalo gede aku bakalan nikahin kamu kaya papa sama mama. Punya rumah gede terus aku
pake mobil yang ada di tv kemaren”
“Kok
cuman dia yang dikasih kita enggak?” Kata 2 anak lainnya
“Enggaklah,
aku kan nggak mau nikah sama kalian aku cuman mau nikah sama dia kalo udah gede”
“yahhh
kok gitu, Falen jelek!” Ejek mereka yang dilanjutkan aksi saling kejar.
“Falen!
Ngapain sih ngelamun mulu dari kemaren” Kata Alvin yang membuatku kembali ke dunia
nyata.
“Apasih
lo ngagetin gue aja! Suka – suka gue kali” Kali ini aku memang benar – benar
kaget
“Gila
untung aja tadi gue nggak kesiangan datengnya jadi gue sempet nyalin PRnya si
Steve. Duhh bisa bayangin kan lo kalo gue kesiangan tadi”
“Lagian
lo bego sih, udah tau Gurunya galak ngapain juga nggak ngerjain”
“Males
banget man, kimia gitu ya bukan level gue banget lah. Matematika aja kaga bisa
apalagi Kimia?”
“Yaudah
sih, buru makan tuh sotonya entar dingin” Great! Alvin memang pintar sekali
mengalihkan pembicaraan. Baguslah aku jadi bisa tenang sekarang memakan soto
buatan Mang Toha – langgananku. Syukurlah tadi aku tidak ketahuan menyalin
garapan Steve karena tulisanku benar – benar acak – acakan saking gugupnya.
Aku
memang selalu menghabiskan waktu istirahat bersama Alvin bukan berarti aku
tidak punya teman selain dia, temanku banyak hanya saja aku kasihan jika harus
meninggalkan Alvin, kan kasihan kalau Alvin sendirian—Hahaha. Waktu istirahat
biasannya kita—Aku dan Alvin habiskan dengan nongkrong di warung sotonya Mang
Toha, ngobrol di taman samping sekolah atau sekedar santai di lantai atas
gedung sekolah. Itu adalah tempat favorit kami. Keseharianku tidak pernah jauh
dari sosok Alvin, kita selalu bersama sepanjang waktu—kecuali mandi tidur dan hal
pribadi lainnya. Rumah kami hanya beda blok, jalan kakipun dekat, jadi kalian
bisa membayangkan bagaimana lengketnya kita berdua.
“Eh
gue tadi sempet merhatiin Steve gitu” Aku memulai pembicaraan setelah
menghabiskan sotoku.
“Terus?”
“Kalo
di perhatiin, dia cakep. Nggak. Dia cakep banget!”
“…”
Ini kebiasaan Alvin jika diajak bicara tentang lelaki lain. Diam. Aku sudah
“sangat” terbiasa dengan sifatnya yang satu ini.
“Kok
lo diem gitu sih jawab apa kek” Lanjut ku.
“Oh”
Oh—yah setidaknya dia sudah mulai perduli dengan pembicaraan ini.
“Cuman
oh? Eh tapi juga dia baik anaknya. Gue deketin aja kali ya?” Aku kembali
bersemangat untuk membicarakan Steve lebih jauh—
“Terserah
lo” Tapi ternyata aku salah, justru Dia tidak berminat sama sekali untuk
meladeniku membicarakan Steve—calon gebetanku selanjutnya yang menurut Alvin
mungkin sangat tidak mutu untuk di bicarakan.
Jam
terakhir, Sejarah Dunia. Pak Tris masuk 5 menit setelah bel pergantian jam
pelajaran tapi kami maklum karena sekolah kami memang luas apalagi kelasku ada
di lantai 2 jadi 5 menit sudah termasuk cepat jika di sekolah kami. Pak Tris
menjelaskan tentang Revolusi Industri di Inggris dan sedikit mengenai Revolusi
Prancis setelah itu kita di beri tugas oleh Beliau. Tugas kelompok lebih
tepatnya. Aku satu kelompok dengan Steve, Rega, Sara, Tania dan Dio untuk
mencari lebih dalam materi mengenai Revolusi Perancis.
Teng teng teng
“Selesaikan
tugas kalian dengan baik dan jangan lupa akhir minggu ini pekerjaan kalian
sudah harus ada di meja saya. Selamat siang”
“Kita
ngerjain langsung aja gimana? Dari pada besok – besok keburu males ngerjainnya”
Sara menghampiri Aku dan Steve yang di ikuti oleh Rega, Tania dan Dio.
“Kalo
gue sih oke aja” Sahut Dio.
“Yaudah di rumah gue
aja yang deket” Steve menawarkan rumahnya dan kita semua setuju.
“Gue kerja kelompok di rumah Steve lo langsung cabut aja” Aku
mengirim pesan kepada Alvin agar dia tidak menungguku.
Hanya perlu 7 menit
untuk sampai di rumah Steve. Rumahnya bagus dan sangat rapi. Kita mengerjakan
di ruang tengah karena memang hanya ruang itu yang paling luas dan dekat dengan
Wi-Fi. Tidak sampai 1 jam pekerjaan kami sudah selesai, mumpung lagi ada di
rumah Steve aku ingin melihat – lihat isi rumah ini.
“Steve kamar mandinya
dimana gue kebelet nih” Tanyaku berpura – pura.
“Ke
belakang aja pasti lo langsung nemu pintunya biru”
“Oke” Semua anak sedang
merapikan buku Sejarah Dunia yang tadi tercecer di lantai dan memasukkannya
kembali ke tas masing – masing. Aku melihat sekeliling rumah dengan interior
yang elegan dan sangat rapi ini beda sekali dengan rumahku dan Alvin pikirku
seketika. Rumahku dan Alvin luas dengan gaya modern yang sangat kental di
setiap sudut ruangan. Orang tua Steve pasti mengerti tentang seni aku yakin
itu. Aku melewati lemari kaca, di dinding sebelahnya tergantung lebih dari 10
foto. Salah satu diantaranya yang membuatku tertarik adalah foto 4 anak kecil
yang sedang bermain pasir di pantai—lucu sekali. Aku mengamatinya lalu tersadar
bahwa aku sepertinya tidak asing dengan wajah kecil itu. Tapi aku tidak begitu
yakin. Aku lalu bergegas ke kamar mandi dan mencuci tangan karena aku memang
tidak kebelet. Aku lalu menaruh dompetku di sebelah washtofel lalu
bergegas keluar dan menghampiri Rega, Sara,
Tania dan Dio yang sepertinya sudah siap pergi menuju rumahnya masing – masing.
Sedangkan Steve terlihat sedang menutup laptopnya dan menghampiri kita ber
lima.
Aku bergegas pulang
tidak sabar ingin bertemu dengan Alvin. Sesampainya di rumah aku mandi
berpakaian lalu berpamitan untuk pergi ke rumah Alvin.
Alvin ternyata sedang
main game di kamarnya tapi aku tidak perduli, aku langsung menarik tubuhnya
agar menghadapku. Dia kaget dan langsung membuka mulutnya
“Gila lo gue kaget. Ada
apaan sih sampek segitunya?”
“Maaf Al tapi gue mau
ngomong penting” Aku lalu memberi tahu Alvin tentang foto anak kecil yang ku
lihat di rumah Steve tadi siang, Alvin memasang wajah tidak percaya tapi aku
berhasil membujuknya untuk memastikannya sendiri.
Kita bergegas memasuki
mobil Pajero Alvin yang ada di garasi lalu melesat ke jalanan menuju rumah Steve.
Belum ada setengan jalan hujan turun lumayan deras lalu Alvin mempercepat laju
mobilnya bahkan hujan jatuh semakin deras saat kita sampai di rumah Steve. Aku
dan Alvin berlari keluar mobil dan membunyikan bel, beberapa saat kemuadian
Steve muncul.
“Falen? Ada apa huj—ayo
masuk” Aku dan Alvin lalu masuk ke rumah Steve yang hangat bertolak belakang
dengan udara di luar barusan yang sangat dingin.
“Duduk.
Well ada apa kalian ke sini?” Steve memandang wajahku
“Gue minta anter Alvin
ke sini niatnya sih mau ngambil dompet eh tau – tau di jalan ujan”
“Dompet lo ketinggalan
dimana? Biar gue yang ambilin” Steve bertanya serius kepadaku
“Di kamar mandi deh
kayaknya” Steve lalu pergi ke belakang untuk mengambil dompet yang tadi sengaja
ku tinggalkan di sana. Aku lalu bergegas menarik lengan Alvin dan menunjukkan
foto itu.
“Tuh liat perhatiin
baik – baik” Alvin lalu mencermati wajah 4 anak di foto itu dan aku melihatnya
mendelik
“Yang ini sama ini gue
sama lo kan Fa?” Alvin menunjuk 2 anak kecil yang bersebelahan dan memastikan
bahwa itu wajah kita berdua. Aku lalu mengangguk cepat karena aku yakin sekali
bahwa itu memanglah wajahku dan Alvin.
“Kalian lagi ngapain”
Suara Steve yang pelan bahkan terasa begitu nyaring di telingaku. Aku kaget dan
diam di tempat sedangkan Alvin hanya menoleh dan memandang foto itu kembali.
“Ini siapa?” Tanya
Alvin dengan nada yang aku yakin dibuatnya setenang mungkin. Steve menghampiri
kami lalu melihat foto itu.
“Nih dompet lo, lain
kali jangan teledor dompet itu penting banget jangan sampek ilang.” Aku
mengambilnya seraya tersenyum. Duh udah ganteng, baik, pinter, perhatian lagi.
Siapa coba yang nggak naksir kalo ketemu dia?
“Itu foto gue waktu
kecil. Sama temen – temen kecil gue, kata Bokap sih gitu”
“Lo masih inget
mereka?” Sahut Alvin sedangkan aku masih diam tak berkata apa – apa.
“Nggak sih soalnya itu
udah berapa taun ya gue lupa jaman dulu bangetlah pokoknya”
“Steve lo harus tau dia
sama dia itu gue sama Falen” Ujar Alvin yang menunjuk 2 anak kecil itu lagi.
“Hah bercanda kan lo?”
Steve tampak tidak percaya sama seperti aku dan Alvin tapi itu memang faktanya!
“Serius.”
Setelah beberapa saat
berdebat akhirnya Steve percaya. Alvin menjelaskan tentang insiden dompet dan
alasan sebenarnya kita kesini. Lalu kita ngobrol bertiga karena di luar masih
hujan, kita memesan Pizza Hut karena di rumah Steve tidak ada orang, orang
tuanya sedang ke luar kota jadi kami memesan pizza. Beberapa saat kemudian di
ketahui bahwa perempuan di samping Steve itu bernama Angel, Steve bilang dia
sekolah di Boston ikut orang tuanya.
Ahhh aku benar – benar
belum terbiasa dengan situasi ini, tapi kita tidak boleh melupakan masa lalu
bukan? Tanpa ada masa lalu tidak aka nada masa kini jadi kita tidak boleh
melupakannya.
“Gue pengen ketemu
Angel deh. Lucu yah kita udah gede bahkan kita ga tau kalo dulu kita maen
bareng gitu.” Aku benar – benar ingin mengingat bagaimana masa kecilku.
“Iya
pengen deh kumpul – kumpul lagi, nostalgia gitu.” Ujar Alvin
“Hmm Angel sekarang
cantik banget kalo penasaran gue tau Instagramnya. Bentar gue cariin” Balas
Steve sembari mencari akun Instagram Angel lewat smartphonenya.
“Nih Angel sekarang”
Steve memberikan handphonenya kepada ku langsung saja Alvin menjejeri ku karena
Alvin pasti sama penasarannya bagaimana teman masa kecil kami yang sudah lama
tidak kami jumpai.
“Gila bule? Cantik
banget Steve gue gaet bisa tuh” Kata Alvin bercanda.
“Sori Al Angel udah
punya cowo bule juga lo ga ada apa – apanya di banding Justin. Scrool down aja
ada fotonya sama Justin. Kasian lo kalah sebelum perang hahaha” Steve
menggodanya dengan penuh semangat.
“Gitu ya? Yaudah deh gue
sama Falen aja udah cukup kok. Lagian di liat – liat lo ga jelek – jelek amat
kok Fa” Alvin memasang muka sedih dan kecewa lalu menoleh ke arahku sambil
menunjukkan raut wajah menilai. Sialan.
Lagian siapa juga yang mau sama dia HAH!
“Dih siapa juga yang
mau sama lo. Ogah. Ehh gue agak inget sesuatu deh tapi samar – samar gitu. Dulu
gue udah pernah ngasih sesuatu ke salah satu di antara kalian berdua kan?
Tentang janji gitu tapi gue nggak inget janji apa. Ada di siapa barangnya?”
Mereka berdua hanya saling berpandangan lalu menaikkan bahunya bersamaan.
Lagian udah ga penting sih lagian itu udah berapa taun yang lalu? 12 taun lalu?
Entahlah aku sudah tidak peduli dengan bayangan yang samar tentang janji
bodohku. Hahaha masa kecil kami memang lucu.
“Siap?”
“Siap.”
Setelah kejadian foto
di rumah Steve, aku dan Steve tambah dekat. Kami sering menghabiskan waktu
bersama. Aku selalu duduk di sebelahnya, ke kantin dan jalan dengannya. Aku
sangat beruntung bisa dekat dengan lelaki yang ku suka. Selama sebulan ini aku
sering jalan bersama Steve, malam ini rencananya kita mau makan malam sambil
keliling Jakarta menikmati pemandangan malam yang indah di kota yang sangat
padat penduduk ini. Steve bagiku seperti pangeran berkuda besi. Aku sering di
bawa ke tempat – tempat yang belum pernah aku datangi menggunakan motor, so
sweet sekali. Well Steve lebih suka menggunakan motor ninjanya dari pada mobil
katanya menghemat waktu dari pada harus terjebak macet dan aku setuju
dengannya.
“Kamu cantik banget
hari ini.” Steve memulai pujian mautnya. Aku sudah hafal karena setiap jalan
dia selalu melontarkan kata – kata yang pastinya akan membuat hati wanita
menjerit saking senangnya. Pujian. Bukan bualan.
“Jadi biasanya aku
jelek?”
“Nggak gitu maksudnya
hari ini.. kamu.. Istimewa” Aku mulai tidak tahan dengan pembicaraan ini. Aku
harus mengalihkan pembicaraan. Harus.
“Yayaya makasih deh. Tapi
mendingan udahan, stop gombalan – gombalan itu. Ayo dimakan keburu dingin”
“Are you ok?” sahut
Steve dengan tatapan bertanya yang jelas di buat – buat.
“Aye” kataku. Aku
bahkan bingung kenapa Steve tiba – tiba bertanya seperti itu.
“Tapi kita lagi makan
Ice Cream. Sejak kapan Ice Cream anget Falen?”
“Ouhhh haha lupa” aku
sangat malu. Tadinya aku ingin mengalihkan Steve agar tidak terus – menerus
memujiku tapi.. tapiii—
Setelah jalan sama
Steve, Alvin datang ke rumahku. Entahlah tumben sekali dia, padahal selama
sebulan ini dia jarang menemuiku. Ohhh aku merindukannya. Sangat.
“Lancar sama Steve?”
Tanya Alvin datar
“Ya gitu deh” jawabku
ringan
“Gimana? Seneng yah
dapet cowo baru?”
“Iyalah, lo kapan
nyusul gue. Cari cewe sana jangan main game mulu di rumah” Jawabku lagi tanpa
menoleh ke arahnya.
Alvin
lalu menjejeriku, duduk di pinggir ranjang dan mendekatiku yang sedang sibuk
membalas chatting dari Steve. “Cieeee yang disini di cuekin yang di sana di
perhatiin” Ujarnya lagi
“Ih
apaan sih lo Al. Kepo banget ngintip – ngintip segala.”
“Kenapa?
Nggak boleh? Ohhhh jadi sekarang gitu, sahabat lo sendiri nggak dianggep
sekarang?” WOW kata – katanya barusan membuatku kaget
“Apa
sih enggak lagi biasa aja kok”
“Fa
semenjak lo deket sama Steve tuh kita jarang ketemu, lo nyuekin gue. Apa gue
udah nggak penting sekarang?” Suaranya melembut
“Cemburu
nih ceritanya? Minta di perhatiin sama gue? Ya ampun Alvin makanya cari cewe
duhhh” Aku asal bicara. Males banget nanggepin Alvin yang udah mulai ngomongin
hal nggak mutu kaya gini.
“Falen
gue serius. Lo berubah sekarang” Nadanya semakin melemah
“Al
gue nggak berubah, cuman kita jarang ketemu aja. Emang masalah banget yah?”
“Iya”
Mendengar jawabannya aku langsung duduk tegak menatapnya
“Lo
kenapa sih tiba – tiba sensi banget. Kita cuman jarang ketemu, udah itu doang.
Nggak ada yang berubah di antara kita”
“Itu
anggepan lo. Di mata gue lo udah beda! Lo nggak pernah peduli lagi sama gue!”
“Kok
lo sewot sih! Biasa aja dong ngomongnya!”
“Benerkan?
Gue emang udah nggak penting buat lo. Segalanya serba Steve. Kemana – mana sama
Steve. Jalan, makan, belanja, sekolah sama Steve. Gue di taruh mana hah? Bahkan
lo aja nggak pernah inget gue kan?”
“Nggak
gitu. Iya emang sekarang gue deket sama Steve, tapi bukan berarti gue ngebuang
lo gitu aja! Lo sahabat gue, masa lo cemburu sih sama Steve yang bener aja!”
Aku benar – benar kesal sekarang! Dia nggak tau kalau aku sangat merindukannya.
Aku senang dia datang, tapi kenapa dia malah marah – marah seperti ini?
“Kita udah beda. Lo. Gue. Kita udah nggak
sejalan lagi. Sahabat? HAH!” Alvin membentakku lalu pergi begitu saja
meninggalkan kamar sambil membanting pintu. Tunggu.. tapi kenapa barusan dia
membentakku dan menekankan kata sahabat
seolah itu adalah hal yang tidak wajar? Bukankah kita memang bersahabat? Atau
Alvin sudah tidak mau bersahabat lagi dengan ku? Tuhan tolong bantu aku agar
aku tau apa yang sebenarnya Alvin pikirkan.
Aku
mengejarnya, tapi dia sudah jauh. Ada apa sebenarnya? Kenapa Alvin marah
kepadaku hanya karena kita jarang bertemu?
“Kenapa
sayang? Barusan kayanya mama denger kamu jerit – jerit?” Tanya mama dari depan
tv
“Nggak
papa ma, barusan Alvin ngambek tau tuh kenapa”
“Yaudah
kerumahnya aja” Saran mama bener – bener buruk.
“Nggak
ah ma, palingan juga besok udah baekan kok” Jawabku meninggalkan Mama menuju
kamarku lagi.
Besoknya
Aku tidak bertemu dengan Alvin. Aku bahkan tidak tau dia masuk sekolah atau
tidak. Jadi serius nih dia ngambek? Hah! Kaya bocah aja, ngambekin hal sepele
kaya gini!
Hari
– hari selanjutnya pun sama. Alvin tidak menemuiku. saat kita berpapasan dia
pura – pura tidak melihat atau jika mata kami bertemu dia langsung memalingkan
wajahnya.
Pernah
sekali saat aku sedang jalan bersama Steve menuju parkiran Alvin menyapaku “Hi Falen sahabatku” dengan nada
menyindir. Sebenarnya apa salahku? Apa salah aku jalan berdua dengan lelaki
yang ku sukai? Kenapa sikapnya jadi seperti itu sekarang? Apa dia cemburu?
Tunggu.. cemburu. Tidak mungkin! Hahaha mungkin pikiranku terlalu lelah
menghadapi sikap dingin Alvin akhir – akhir ini. Kita bersahabat sejak kecil
mana mungkin dia menyukai ku. Benar. Otakku memang sudah lelah.
Hari
ini sikap Alvin belum berubah, masih sama seperti hari – hari kemarin.
“Kamu
lagi marahan ya sama Alvin?” Tanya Steve saat kami sedang makan di kantin.
“Tau
tuh si Alvin diemin aku. Udah ada seminggu sikapnya aneh.”
“Emang
kamu ada masalah apa?”
“Nggak
tau, masa cuman gara – gara aku jarang ketemu dia katanya aku ngebuang dia.
Kaya anak kecil banget kan”
Saat
itu juga Alvin lewat tepat di depanku! Dia memberikan tatapan yang tak bisa ku
artikan. OMG! Aku langsung mengejarnya. Alvin aku—
“Alvin!
Tunggu!” Aku menarik tangannya dan menatapnya. Dia hanya diam tampa memandang
wajahku.
“Lo
kenapa ”
“Lo
masih tanya kenapa?” Alvin balik bertanya kepadaku dengan wajah kesal.
“Gue
nggak tau kenapa Lo kaya gini. Oke kalo Gue punya salah sama Lo Gue minta maaf,
tapi tolong jelasin apa salah Gue”
“Lo
tuh nggak peka ya” Hanya itu yang Alvin katakan lalu menghentakkan tangannya
dan berlalu pergi. Ku lihat dari kejauhan Steve memperhatikan, ah masa bodoh! Aku
hanya ingin menenangkan diri sekarang.
Taman
samping sekolah ramai hari ini, banyak anak yang menjalani aktifitasnya di
sini. Ada yang bermain gitar, makan bekal, membaca buku, dan biasanya aku duduk
di sini bersama Alvin. Sebenarnya memang aku yang berubah atau pikiran Alvin
yang sedang kacau? Dari kejauhan ku lihat Steve mendekat ke arah ku.
“Hey
ngapain di sini sendirian? Kok keliatan sedih gitu, mikirin Alvin ya?” Suaranya
yang lembut membuat hatiku tenang.
“Hmm”
Aku hanya menggumam sambil menikmati keheningan di otakku. Aku rasa hari ini
cukup, aku tidak ingin membuat otak ku lelah.
Hujan
saat malam hari itu tidaklah menyenangkan! Aku memandang ke luar jendela,
gelap, basah, dingin. Aku tidak suka suasana seperti ini. Tiba – tiba aku
teringat Alvin. Sahabatku. Aku tidak bisa marahan seperti ini terus dengannya.
Aku tidak tahan. Aku memberanikan diri untuk menelfonnya. Tersambung! Namun beberapa
saat kemudia dia mematikan telfonnya.
Aku
sedang menunggu taksi di depan sekolah ketika mobil Alvin lewat lalu berhenti
di hadapanku.
“Masuk”
Aku lalu memasuki mobilnya tanpa berkata apa – apa. Alvin langsung melajukan
mobilnya dan membawaku ke Café langganan kami. Aku hanya diam mengikutinya
tanpa bertanya sekalipun.
“Bisa
nggak sih jangan diem terus. Keki tau nggak” Aku memulai pembicaraan karena
sudah sangat bosan dengan keheningan yang terjadi.
“Nah
itu lo tau kalo di diemin itu keki!”
“Maksud
lo apa?”
“Sekarang
gue tanya langsung ke intinya. Bagi lo gue itu apa?” Alvin mendadak serius
“Ngapain
tanya. Lo sahabat gue”
“Sahabat?
Cuma sahabat?” Nadanya meninggi
“Terus
lo pikir hubungan kita ini apa?” Balasku dengan nada sama tingginya
“Gue nggak mau jadi sahabat lo Falen!” Alvin
membentakku. Café sedang sepi karena sekolah lain belum bubar. Aku sangat
bersyukur, andai saja Café ini di penuhi manusia mau di taruh mana mukaku?
“Maksud
lo apaan sih. Gue nggak ngerti. Lo nggak inget apa dulu kita janji bakal bareng
terus selamanya. Lo udah janji, dan sekarang lo ngomong lo nggak mau jadi
sahabat gue? Yang bener aja!”
“Oh
ya? Cuma janji itu doang yang lo inget? Jujur, gue kecewa”
“Maksud
lo apa? Emang janji apalagi?”
“Udahlah, lagian lo udah punya Steve. Kok gue jadi
naif gini ya? Percaya sama omongan cewe umur lima tahun. Bodoh.” Kata Alvin
sambil tertawa nyaring, tawa yang jelas dibuat – buat.
“Alvin, gue bener – bener nggak ngerti apa yang lagi
lo omongin” Kali ini aku sudah stuck.
Alvin tersenyum singkat, berdiri, lalu pergi
meninggalkan ku sendirian. Tidak berfikir terlalu lama aku lalu menyusulnya ke
luar setelah membayar pesanan kami yang bahkan belum sempat kami santap. Aku
memanggil Alvin tapi ia malah berbalik untuk menyeberangi jalan. Dan tiba-tiba
aku melihatnya. Mobil itu. Kejadian selanjutnya terjadi begitu cepat. Aku bisa
mendengar teriakan yang ternyata berasal dari mulutku sendiri. Refleks, aku
berlari kearah Alvin yang sudah tergeletak dengan darah yang mengucur deras
dari kepalanya.
“ALVINNNNNN…”
Orang – orang yang ada di sekitar tempat ini langsung berlari mendekat. Begitu
sampai di hadapan Alvin tubuhku lemas, aku terduduk di sebelahnya sambil
menangis sejadi – jadinya. Sahabatku tertabrak mobil dan aku menyaksikannya
sendiri. Aku sangat kaget, panik, dan tidak tau harus berbuat apa. Tak lama
kemudian suara Ambulance memenuhi seluruh indra pendengaranku.
Alvin
terbaring keritis Dokter bilang dia kehilangan banyak darah. Aku menemaninya
dan terus berdoa agar dia cepat sadar. Aku telah menghubungi keluarganya, dan
mereka sedang dalam perjalanan kemari karena mereka sedang ada di luar kota. 2
jam setelah kejadian Alvin sadar dan langsung mengenaliku.
“Alvin”
Panggilku lirih
“Apa”
“Gue
kangen sama lo”
“Gue
juga”
“Maafin
gue ya?”
“Gue
nggak marah sama lo Falen”
“Terus
kenapa lo nyuekin gue?”
“Karena
lo nggak peka. Gue sendirian, sejak Steve muncul di kehidupan lo, lo nggak
pernah kontak gue. Temen gue cuman lo. Gue kesepian”
“Maafin
gue ya. Iya gue salah, nggak seharusnya gue ninggalin lo sendirian cuman gara –
gara gue deket sama Steve. Gue janji nggak bakalan bikin lo kesepian lagi”
“Gue
sayang sama lo Falen”
“Gue
sayang banget sama lo Al Lo harus kuat. Cepet sembuh. Sakit banget rasanya
ngeliat lo terbaring lemah kaya gini”
“Tenang,
Pangeran lo ini bakalan cepet sembuh kok. Lagian cuman kecelakaan biasa. Gausah
kawatir gitu” Kecelakaan biasa? Dia bahkan tidak tau seberapa parahnya dia. Tak
lama kemudian dia menutup matanya lagi. Aku membiarkannya istirahat tanpa
meninggalkannya sedetik pun.
Sudah
1 jam dan orang tua Alvin bahkan belum sampai. Aku membelai wajahnya berharap
dia cepat kembali pulih dan tiba – tiba monitor di samping ranjang berbunyi
keras sekali. Aku panik. Aku langsung memanggil tim medis lalu beberapa Dokter
beserta suster datang ke ruangan. Mereka langsung melihat keadaan Alvin dan
seorang Dokter mengisyaratkan untuk membawa Alvin ke ruang operasi. Aku juga
ikut lari mengikuti Alvin.
Dari
kejauhan aku melihat orang tua Alvin namun tepat setelah itu salah satu suster
berkata dengan bahasa medis yang tidak ku ketahui. Mereka berhenti dengan nafas
yang terengah – engah dan menampilkan raut kecewa. Aku mendekatinya dan
bertanya kenapa mereka berhenti. Mereka tidak menjawab namun aku mengerti. Aku
langsung memeluknya dan menangis sekeras yang ku bisa. Alvin, sahabat
kesayanganku pergi meninggalkanku. Orang tua Alvin sampai dan langsung
mengerti. Tante Rara menjerit sedangkan Om Dani meneteskan air mata dalam diam.
Tim medis lalu membawanya, ternyata Alvin meninggal karena kehabisan darah.
Tapi bukankah ada darah cadangan di rumah sakit? Kenapa mereka tidak
memberikannya kepada Alvin dan kenapa juga orang tua Alvin terlambat datang
sehingga Alvin tidak kuat lagi. Aku kecewa, kesal, marah, sedih, semuanya
bercampul menjadi satu. Yang jelas AKU TIDAK RELA!
Sore
ini juga Alvin di makamkan. Aku tidak ingin datang ke pemakamannya namun jika
aku tidak datang aku tidak akan melihat mayat Alvin untuk terakhir kali. Mama
dan Papa membujukku untuk datang bersama mereka. Orang tuaku pun menangis
mendengar kabar kematian Alvin. Mereka juga memikirkan bagaimana nantinya
kehidupanku tanpa Alvin. Dia satu – satunya sahabatku. Oh Tuhan kenapa engkau
merenggut nyawanya di masa mudanya? Aku tidak kuat jika harus terus menerus
mengingatnya. Sakit. Sakit sekali di dalam sini.
Pemakaman
ramai sekali, teman – teman kami datang begitu pula Steve. Mereka mengucapkan turut
berduka cita kepada orang tua Alvin dan juga kepadaku. Aku hanya diam, aku
bahkan tidak bisa bicara, yang ku lakukan hanya menangis memandang mayat Alvin
di kebumikan. Setelah selesai aku langsung pulang, aku tidak mau berlama – lama
di sini.
Besoknya
aku datang ke rumah Alvin. Para tamu masih terus berdatangan untuk mengucapkan
bela sungkawa. Aku ke kamarnya. Rapi. Aku lalu membaringkan tubuhku di
ranjangnya, biasanya Alvin yang tidur di sini namun sekarang tidak ada lagi
yang akan menempatinya. Aku lalu berkeliling kamar melihat barang – barangnya.
Masih sama, tiba – tiba aku tertarik dengan laci paling bawah lemari Alvin.
Alvin tidak pernah membolehkanku membukanya karena dia bilang dia membutuhkan
privasi, jadi aku tidak pernah mencoba apa lagi memaksa untuk melihatnya. Namun
sekarang berbeda, aku sangat ingin melihatnya. Dikunci. Aku membuka laci yang
ada di atasnya dan meliat ada sebuah kunci, dasar ceroboh. Aku membukanya,
tidak banyak isinya hanya kertas, kotak kayu, boneka dan gelas.
Kertas
A3 dengan lukisan aku dan Alvin saling berpelukan, boneka beruang yang ku berikan
saat ulang tahunnya yang ke 10 jika tidak salah, gelas bertuliskan Alvin Falen
Forever ohhh aku kembali meneteskan butiran bening dari mataku. Melihat gelas
ini aku jadi teringat janji kami untuk selalu bersama sampai kami tua tapi
nyatanya dia meninggalkanku lebih dulu, di usianya yang belum genap 18 tahun.
Dengan lemas aku meraih kotak kayu, barang terakhir yang menjadi privasi Alvin.
Di dalam kotak kayu ada kalung kayu dan sebuah surat. Kalung kayu dengan ukiran
Falen. Aku yakin dia sangat menghargai persahabatan kami sampai dia menyimpan
barang seperti ini. Aku lalu membuka surat itu. Aku terduduk lemas membaca
isinya dan kembali menangis.
Dear Falen
Kalo lo nerima surat ini, berarti kita udah nikah,
atau gue yang udah nyerah karena nggak bisa dapetin lo atau mungkin aja gue
udah meninggal duluan sebelum lo. Di kotak ini, ada kalung yang lo kasih ke gue
waktu kita masih kecil. Kalung tanda cinta lo, katanya. Lo masih inget, kan?
Kalung itu juga bukti janji kita yang mungkin udah lo lupain. Lo janji kalo
kita bakalan tetep bersama sampek gede, terus nikah. Gue bahkan waktu kecil
janji sama lo setelah nikah gue mau beli mobil, tapi well—sekarang gue udah
beli duluan sebelum kita nikah. Sebenernya, gue harap lo nggak bakal lupa sama
janji itu. Tapi, gue ngerti lo udah lupa. Gue nggak mau ngebahas hal yang udah
lo lupain jadi gue diem. Tapi gue diem bukan berarti gue udah nggak perduli
dengan janji yang lo ucapin sendiri. Janji anak umur 5 tahun—hahaha.
Sikap diem gue yang nggak pernah nunjukin kalo gue
suka sama lo udah nggak tertahankan lagi waktu gue liat lo sama Steve, lo
keliatan bahagia banget waktu bareng Steve, gue cemburu. Lo belum pernah
keliatan sebahagia itu waktu jalan sama gebetan lo yang laen, itu yang bikin
gue kesel. Jadi, gue nulis surat ini.
Well, kalo lo nikah sama orang lain, mungkin setelah
ngasih kalung itu gue nggak akan berani lagi muncul di kehidupan lo.
Sebenernya, bukannya nggak berani sih, tapi mungkin nggak sanggup liat lo
bahagia sama orang lain. Tapi, kalo kita berdua yang nikah, gue nggak tau mau
naruh muka gue dimana kalo lo udah nerima kalung itu sama baca surat lebay gue
ini. Lo tau kenapa? Karena selama ini gue udah berusaha nunjukin sikap cuek ke
elo, dan sekarang, saat lo baca surat ini, mungkin lo bakal ngecap gue cowok lebay,
tapi gue nggak perduli. Sedangkan kalo gue udah mati, gue cuma mau minta maaf
kalau mungkin selama ini gue udah nyakitin perasaan lo. Gue juga minta maaf
kalo sikap gue selama ini udah bikin lo bingung, kesel atau apapun itu yang lo
para cewek suka bilang. Gue cuma mau lo tahu, gue bersikap gitu karena gue
pengen jadi sempurna dimata lo. Soalnya, gue pernah denger lo ngobrol sama
temen kelas lo kalo lo suka cowo yang ganteng, cuek, misterius jadi gue pura –
pura sok cuek misterius gitu. Tapi bahkan lo cuma nganggep gue sahabat dan
nggak pernah mempermasalahin sikap cuek gue. Padahal niatnya biar lo ngeliat
gue sebagai cowo, bukan sahabat.
Yah, itu ajasih yang pengen gue omongin ke elo.
Makasih buat semua yang udah lo kasih ke gue selama gue hidup. Gue bahagia
banget, Falen. Percaya sama gue, gue nggak akan lupain semua itu. Nggak akan
pernah, terutama masa kecil kita. I LOVE YOU FALEN
With love,
Alvin
Aku sangat menyesal kenapa aku tidak pernah peka
dengan perasaannya. Kenapa jika dia memberiku kode aku hanya menganggapnya
sebagai lelucon? Dan kini aku hanya bisa menangis meratapi kepergiannya.
Kepergian orang yang sangat mencintaiku. Orang sangat spesial. Alvin Faustines.
TAMAT
The merit casino - deccasino.com
BalasHapusDiscover 1xbet korean all about the Merit Casino - a 인카지노 Malta licensed 메리트카지노 online gambling site. Merit Casino Review and Rating - Merit Online Casino.